Dokter Spesialis Ortopedi Masih Minim
Indonesia masih sangat kekurangan dokter spesialis ortopedi dan trauma (SpOT). Padahal, kebutuhan dokter spesialis bedah tulang di Indonesia terus meningkat. Tidak hanya masyarakat umum tapi juga atlet. Hal itu dibenarkan anggota senior The Indonesian Orthopaedic Association (IOA) sekaligus founder Indonesian Hip & Knee Society (IHKS) dr Nicolaas C. Budhiparama SpOT (K). ’’Saat ini saja, Indonesia hanya memiliki sekitar 600-an orang dokter spesialis orthopedic. Tidak hanya kurang, penyebarannya juga belum merata,’’ akunya saat pembukaan 3rd Annual Scientific Meeting of IHSK di Hotel Gran Melia, Jakarta, Jumat (23/8).
Dari 600 dokter itu, tidak lebih dari 100 orang yang sekaligus dokter spesialis lutut dan panggul. Padahal, banyak kasus cedera, baik itu karena aktivitas sehari-hari, faktor usia, kecelakaan lalu lintas, dan aktivitas olahraga yang membutuhkan perawatan khusus pada bagian lutut dan panggul. Menurut sejumlah penelitian, idealnya satu orang dokter spesialis bedah tulang di Indonesia menangani 500 ribu penduduk. Tapi kenyataannya, satu orang dokter bedah tulang di Indonesia rata-rata masih menangani lebih dari 1 juta penduduk. Nico menambahkan, jumlah pasien cedera tulang di Indonesia cukup tinggi. Sebanyak 60 persen pasien Unit Gawat Darurat (UGD) rumah sakit di Indonesia adalah patah tulang. Apalagi, Indonesia juga rentan terhadap bencana alam, seperti gempa dan tanah longsor yang rentan sekali menambah jumlah pasien cedera tulang dan trauma.
Maka itu, lewat IHSK pihaknya ingin membuka peluang kepada dokter spesialis bedah tulang di Indonesia untuk mengambil spesialisasi lutut dan panggul. ’’Melalui program fellowship, kami akan membuka pintu seluas-luasnya kepada teman sejawat untuk bisa menempuh pendidikan lanjutan di bedah tulang lutut dan panggul,’’ papar Nico.
Ditambahkan dr Edi Mustamsir MD PhD selaku Fellowship Committee di IHSK, kesempatan pendidikan lanjutan kepada dokter spesialis bedah tulang, selain untuk menambah jumlah dokter spesialis lutut dan panggul, juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan di Indonesia. ’’Ini supaya pasien kita tidak perlu lagi melakukan treatment atau surgery (operasi) ke luar negeri. Karena dokter di Indonesia sebenarnya memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan dokter spesialis yang ada di luar negeri,’’ jelasnya.
Gangguan pada panggul dan lutut, kata dia, bisa mengurangi mobilitas hingga kualitas hidup penderitanya. Pengobatan bertujuan untuk memperbaiki fungsi panggul serta lutut dengan cara konvensional ataupun bedah.
Karena itu, pengobatan gangguan panggul dan lutut tidak hanya terdiri dari satu penanganan. Setelah diberikan satu terapi, pasien perlu melakukan penanganan lanjutan agar benar-benar sembuh. ’’Misalnya, setelah mendapat perlakuan pergantian lutut. Jika tidak mendapatkan perlakuan lanjutan yang tepat seperti pengobatan, fisioterapi, atau rehabilitasi setelahnya, maka hasilnya tidak akan baik,’’ papar Edi.
Sayangnya, banyak ditemukan kasus pasien hanya satu kali berobat tanpa adanya penanganan lanjutan. Itulah yang membuat IHKS tergerak untuk kembali melakukan pertemuan tahunan guna pelayanan terintegrasi tersebut lekas terwujud. Lebih jauh dikatakan, bertemunya ahli bedah ortopedi, olahraga medik dan artoskopi, serta pakar-pakar lainnya dalam sebuah forum diharapkan dapat meningkatkan kekompakan mereka. Ini terutama, dalam hal memperbaiki kualitas kesembuhan dari pasien.
Adapun IHKS dibentuk sebagai wadah dokter bedah tulang untuk berkumpul, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, sehingga bisa memenuhi semua kebutuhan pasien di Indonesia. Dengan adanya IHKS, diharapkan pasien tidak lagi berobat ke luar negeri karena fasilitas dan kemampuan dokter-dokter ortopedi di Indonesia sudah setara dengan dokter-dokter di ASEAN.